Selasa, 26 Juni 2018

Generasi Cendikia yang Melek Politik, Rudi Hartono, M. Pd. I.

Generasi cendikia yang melek politik

Sekarang ini, sistem politik hampir semua negara adalah sistem demokrasi yg merupakan titik terbaik dan terstabil dari suatu sistem pemerintahan. Setiap individu memiliki hak untuk menentukkan pemimpin yg akan mengatur masa depan negaranya dan setiap individu juga memiliki hak untuk memberikan aspirasinya ke pemerintah dan daerah yang berkuasa. Oleh karena itu, demokrasi adalah sistem politik kerakyatan dan tanpa adanya patisipasi rakyat, demokrasi tidak akan berjalan dengan baik.
Masyarakat sebagai penggerak jalannya demokrasi tentunya harus sadar akan hak istimewa yg mereka miliki, khususnya kaum muda yg merupakan partisipan penggerak awal demokrasi. Sikap pasif kaum muda akan menjadi suatu proses pelemahan demokrasi, karena kaum muda merupakan individu yang sangat kritis dalam menganalisis regulasi dan peka akan pemimpin yang tepat untuk kemajuan negaranya. Generasi muda pun merupakan penerus bangsa memang dituntut untuk aktif dalam kehidupan sosial dan politik. anak muda menjadi pasukan positif dalam perubahan sosial transformatif, sehingga partisipasi anak muda dalam kehidupan politik patut diperhitungkan, bukan hanya masuk hitungan.
Namun, fenomena yang muncul pada saat ini adalah minat akan tema politik di antara anak-anak muda tampak tidak terlalu disukai.

Kamis, 21 Juni 2018

Merawat Potret "Bodo Kupat" dalam tradisi Jepara, Rudi Hartono, M. Pd. I

Merawat Potret " Bodo Kupat" dalam tradisi Jepara

Hari ini Jumat tepat 8 Syawwal 1439 H. Dalam tradisi masyarakat muslim Jawa dikenal sebagai Bodo Kupat (lebaran ketupat, jika diarabkan 'Idul Kupat). Kenapa demikian? Apakah lebaran ini hanya sekedar tradisi atau ekspresi dari tuntunan sunnah Rasulullah?
Tanggal 8 Syawwal memang unik dan bermakna. Dimana masyarakat muslim Jawa kembali melaksanakan perayaan lebaran. Diartikan lebaran karena selama bulan Syawwal ada tuntunan untuk melaksanakan puasa sunnah selama enam hari.
Hadits riwayat Abu Hurairah Ra sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Durratun Nashihin dan Zubdatul Wa'idzin, Nabi bersabda: "Barang siapa berpuasa pada bulan Ramadan, kemudian diteruskan dengan berpuasa enam hari dari bulan Syawwal, maka seolah-olah dia berpuasa satu tahun penuh". Dari redaksi hadis ini juga disebutkan bahwa pahala enam hari bulan Syawwal sama dengan pahala enam Nabi.
Logika yang mudah digunakan dalam memaknai sunnah puasa Syawwal adalah dimulai dari tanggal 2 Syawwal dihitung enam hari, berarti berakhir tanggal 7 Syawwal. Maka tanggal 8 Syawwal tepat satu minggu setelah 'idul fitri dirayakan Bodo Kupat.
Jadi Bodo Kupat adalah ekspresi kegembiraan dan perayaan lebaran setelah selesai berpuasa Syawwal selama enam hari. Maka dalam merayakan kebahagiaan itu dibuatlah kreasi budaya dengan nama kupat dan lepet.
Banyak sekali sejarah lisan (kisah tutur, oral history) yang menjelaskan mengenai makna dan filosofi kupat dan lepet ini. Sejauh penulis paham dari mbah di Kota Jepara (tempat penulis lahir), bahwa kupat dimaknai aku lepat (saya bersalah) dan lepet diartikan luput (salah).
Simbolisasi ini yang menjadikan arti bahwa para pecinta sunnah dan pengamal laku kasepuhan itu tidak sombong. Walaupu  sudah berhasil puasa Ramadan, zakat fitrah, bertakbir 'idul fitri dan berpuasa Syawwal, masih mengaku dirinya salah. Ini berarti makna hakikat penghambaan dan pengakuan kalimat takbir, Allah Maha Besar. Artinya bahwa manusia adalah Maha Kecil yang selalu bersalah dan selalu meminta maaf.
Apa yang dilakukan ketika Bodo Kupat? Banyak cara untuk merayakan Bodo Kupat yang disebut orang Jepara sebagai "Kupatan". Yang pasti, orang yang ngugemi nasehat mbah mbahnya masing2 selalu dipesan untuk bisa membuat kupat sendiri khusus kaum laki-laki.
Bahkan ada intimidasi-spiritual, kalau laki-laki tidak bisa membuat kupat maka akan dimakan buto ijo. Ini melambangkan bahwa tradisi kupatan jangan sampai punah dan generasi yang membuat kupat jangan sampai kepathen obor (punah). Sebab membuat kupat adalah seni yang sangat rumit, butuh kesabaran dan ketelatenan.
Orang hidup juga butuh kesabaran dan ketelatenan. Maka Bodo Kupat juga bernilai seni Jawa masa lalu yan sangat indah. Kupat beda dengan lontong yang cukup cepat membuatnya hanya dengan menguntai daun pisang.
Dan yang tidak banyak diketahui adalah waktu memasak kupat dan lepet yang sangat panjang sekira tiga hingga enam jam juga perlu disebut sebagai nilai kesabaran dan kemahalan. Sabar karena butuh banyak waktu menanti hingga matang. Dan mahal karena butuh banyak bahan bakar yang digunakan untuk menyajikan kupat dan lepet yang nikmat.
Dimana nilai sunnahnya? Nilai sunnah Bodo Kupat adalah pada inti rasa syukur setelah diberi kenikmatan menyelesaikan puasa Ramadan, merayakan 'idul fitri dan melanjutkan puasa Syawwal. Termasuk sunnah dalam bershadaqah dan melantunkan kalimat thayyibah di bulan Syawwal.
Ketika Bodo Kupat, masyarakat bersemangat membuat kupat, lepet, lontong yang komplit dengan opor, gori dan sayur lodeh. Masyarakat berangkat dengan tenong (tempat makanan yang terbuat dari bambu) kumpul di Masjid atau Musholla melakukan do'a bersama dengan tahlil seraya mengungkapkan rasa syukur. Masakan kupat dan lepet juga dibagikan tetangga dan saudara.
Jadi jelas, bahwa Bodo Kupat adalah tradisi bernilai positif yang melambangkan rasa syukur atas keberhasilan puasa enam hari di bulan Syawwal. Jika dirinya tidak berpuasa, paling tidak ikut menyambut kemenangan saudara muslim yang mampu berpuasa enam hari Syawwal.
Tidak dapat terbantahkan bahwa Bodo Kupat adalah tradisi masyarakat yang sudah turun temurun dari para Walisongo penyebar Islam di Nusantara.

Senin, 18 Juni 2018

Merawat Sketsa Tradisi Halalbihalal pasca Lebaran, Rudi Hartono, M. Pd. I.



Merawat sketsa halal bi halal di hari raya


Menurut beberapa sumber, tradisi halalbihalal dimulai usai Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Tepatnya 3 tahun usai Proklamasi.

Saat itu Republik muda ini diambang perpecahan nasional. Masing-masing kekuatan elit politik bersaing. Bahkan muncul pertikaian elit politik yang berujung pada peristiwa “Madiun 1948”.

Di sisi lain, Republik yang masih muda ini sudah diambang agresi militer Belanda. Tentu saja, tanpa persatuan berbagai pihak, agresi militer tersebut akan mematahkan kekuatan Republik.

Melihat situasi itu, pada pertengahan Ramadhan tahun 1948, Bung Karno memanggil kyiai Nahdatul Ulama (NU), KH. Wahab Chasbullah, ke Istana Negara. Beliau meminta saran dan pendapat kiyai atas situasi gening tersebut.

Saat itu Kyiai Wahab mengusulkan agar diadakan silaturrahmi nasional. Momentumnya, kata Kyiai Wahab, sangat cocok karena mendekati Idul Fitri. Disamping itu, umat Islam memang di-sunnah-kan melakukan silaturrahmi.

Bung Karno setuju ide silaturrahmi, tetapi kurang setuju penamaannya. “Silaturrahmi kan biasa, saya ingin istilah yang lain,” kata Bung Karno.

“Itu gampang,” kata Kyiai Wahab. “Begini, para elite politik tidak mau bersatu karena saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu dosa. Dosa itu haram..”

“..Supaya tdk punya dosa, maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan,” jelas Kyiai Wahab.

Nah, untuk menamai forum silaturrahmi itu, Kyiai Wahab mengusulkan istilah “Halalbihalal”. Istilah itu memang terkesan berbau bahasa Arab, tetapi tidak dikenal oleh masyarakat Arab. Esensi halalbihalal adalah saling menghalalkan atau saling memaafkan.

Singkat cerita, atas saran Kyiai Wahab itu, pada perayaan Idul Fitri 1948 Bung Karno mengundang semua tokoh politik dan agama untuk bersilaturrahmi dengan judul “halalbihalal”.

Sejak itu, halalbihalal menjadi kegiatan rutin dan populer di kalangan rakyat Indonesia. Tidak hanya lembaga negara, tetapi juga oleh organisasi massa, tempat kerja/perusahaan, dan masyarakat umum.

Versi lain menyebut, sejarah halalbihalal ini dimulai oleh pemuda Masjid Kauman di Jogjakarta. Saat itu, tahun-tahun usai Proklamasi Kemerdekaan, mereka mau menggabungkan perayaan Idul Fitri dan Proklamasi Kemerdekaan RI. Mereka kemudian menemukan istilah “halalbihalal”.

Ada lagi versi yang menyebut bahwa tradisi halalbihalal dirintis oleh  KGPAA Mangkunegara I, yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Tidak jelas kapan Pangerang Sambernyawa memulai tradisi ini. Yang jelas, Keraton menggunakan halalbihalal sebagai ajang silaturrahmi antara Raja dan Permaisurinya dengan seluruh punggawa dan prajurit Keraton.

Dari uraian historis itu, dapat ditarik sejumlah benang merah dan kesimpulan. Pertama, halalbihalal merupakan bentuk konsolidasi nasional yang tidak formal, yang mengambil momentum keagamaan, untuk menyambung tali persaudaraan dan persatuan nasional.

Kedua, halalbihalal diciptakan dari kebiasaan bangsa Indonesia melakukan silaturrahmi saat lebaran. Artinya, kendati terkesan menggunakan bahasa Arab, halalbihalal adalah tradisi asli dan murni masyarakat Islam Indonesia.

Ketiga, halalbihalal bisa menjadi ruang untuk menyelesaikan masalah atau mencairkan hubungan sosial yang membeku. Merujuk ke penjelasan Prof Dr Quraish Shihab, dari segi tinjauan bahasa, kata halal yang darinya dapat terbentuk beberapa bentuk kata memiliki varian makna, antara lain: “menyelesaikan masalah”, “meluruskan benang kusut”, “melepaskan ikatan”, “mencairkan yang beku”, dan “membebaskan sesuatu”.

Keempat, halalbihalal penting untuk merawat dan memelihara ikatan sosial dan solidaritas horizontal di kalangan rakyat Indonesia. Dengan begitu, persatuan nasional punya landasan yang kokoh.


Merawat Potret " Bodo Kupat" dalam tradisi Jepara

Merawat Potret " Bodo Kupat" dalam tradisi Jepara Hari Kamis besok tepat tanggal 8 Syawwal 1442 H. Dalam tradisi masyarakat muslim...