Merawat sketsa halal bi halal di hari raya
Menurut beberapa sumber, tradisi halalbihalal dimulai usai Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Tepatnya 3 tahun usai Proklamasi.
Saat itu Republik muda ini diambang perpecahan nasional. Masing-masing kekuatan elit politik bersaing. Bahkan muncul pertikaian elit politik yang berujung pada peristiwa “Madiun 1948”.
Di sisi lain, Republik yang masih muda ini sudah diambang agresi militer Belanda. Tentu saja, tanpa persatuan berbagai pihak, agresi militer tersebut akan mematahkan kekuatan Republik.
Melihat situasi itu, pada pertengahan Ramadhan tahun 1948, Bung Karno memanggil kyiai Nahdatul Ulama (NU), KH. Wahab Chasbullah, ke Istana Negara. Beliau meminta saran dan pendapat kiyai atas situasi gening tersebut.
Saat itu Kyiai Wahab mengusulkan agar diadakan silaturrahmi nasional. Momentumnya, kata Kyiai Wahab, sangat cocok karena mendekati Idul Fitri. Disamping itu, umat Islam memang di-sunnah-kan melakukan silaturrahmi.
Bung Karno setuju ide silaturrahmi, tetapi kurang setuju penamaannya. “Silaturrahmi kan biasa, saya ingin istilah yang lain,” kata Bung Karno.
“Itu gampang,” kata Kyiai Wahab. “Begini, para elite politik tidak mau bersatu karena saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu dosa. Dosa itu haram..”
“..Supaya tdk punya dosa, maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan,” jelas Kyiai Wahab.
Nah, untuk menamai forum silaturrahmi itu, Kyiai Wahab mengusulkan istilah “Halalbihalal”. Istilah itu memang terkesan berbau bahasa Arab, tetapi tidak dikenal oleh masyarakat Arab. Esensi halalbihalal adalah saling menghalalkan atau saling memaafkan.
Singkat cerita, atas saran Kyiai Wahab itu, pada perayaan Idul Fitri 1948 Bung Karno mengundang semua tokoh politik dan agama untuk bersilaturrahmi dengan judul “halalbihalal”.
Sejak itu, halalbihalal menjadi kegiatan rutin dan populer di kalangan rakyat Indonesia. Tidak hanya lembaga negara, tetapi juga oleh organisasi massa, tempat kerja/perusahaan, dan masyarakat umum.
Versi lain menyebut, sejarah halalbihalal ini dimulai oleh pemuda Masjid Kauman di Jogjakarta. Saat itu, tahun-tahun usai Proklamasi Kemerdekaan, mereka mau menggabungkan perayaan Idul Fitri dan Proklamasi Kemerdekaan RI. Mereka kemudian menemukan istilah “halalbihalal”.
Ada lagi versi yang menyebut bahwa tradisi halalbihalal dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I, yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Tidak jelas kapan Pangerang Sambernyawa memulai tradisi ini. Yang jelas, Keraton menggunakan halalbihalal sebagai ajang silaturrahmi antara Raja dan Permaisurinya dengan seluruh punggawa dan prajurit Keraton.
Dari uraian historis itu, dapat ditarik sejumlah benang merah dan kesimpulan. Pertama, halalbihalal merupakan bentuk konsolidasi nasional yang tidak formal, yang mengambil momentum keagamaan, untuk menyambung tali persaudaraan dan persatuan nasional.
Kedua, halalbihalal diciptakan dari kebiasaan bangsa Indonesia melakukan silaturrahmi saat lebaran. Artinya, kendati terkesan menggunakan bahasa Arab, halalbihalal adalah tradisi asli dan murni masyarakat Islam Indonesia.
Ketiga, halalbihalal bisa menjadi ruang untuk menyelesaikan masalah atau mencairkan hubungan sosial yang membeku. Merujuk ke penjelasan Prof Dr Quraish Shihab, dari segi tinjauan bahasa, kata halal yang darinya dapat terbentuk beberapa bentuk kata memiliki varian makna, antara lain: “menyelesaikan masalah”, “meluruskan benang kusut”, “melepaskan ikatan”, “mencairkan yang beku”, dan “membebaskan sesuatu”.
Keempat, halalbihalal penting untuk merawat dan memelihara ikatan sosial dan solidaritas horizontal di kalangan rakyat Indonesia. Dengan begitu, persatuan nasional punya landasan yang kokoh.