ANTARA MBS DAN MBM
Oleh : Rudi Hartono, M. Pd. I
Guru SD Islam Al Azhar 8 Kembangan Jakarta Barat
Manajemen Berbasis Sekolah ( MBS )
Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Seperti yang sudah kita ketahui
bersama, istilah manajemen berbasis sekolah merupakan
terjemahan dari “school-based management”. MBS merupakan paradigma baru
pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah (pelibatan
masyarakat) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional.
Menurut
hemat penulis, MBS merupakan gebrakan baru dan cukup spektakuler dalam
pengelolaan pendidikan, mengingat gebrakan ini lebih menekankan kepada
kemandirian dan kerja aktif dari tiap sekolah, maka hal ini senada dengan
pendapat Suprihatin dkk yang menyatakan bahwa MBS merupakan ajang dari sekolah
dalam meningkatkan kemandirian dan
kreatifitas sekolah[1].
Nurcholis mengatakan Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah bentuk alternatif
sekolah sebagai hasil dari desentralisasi pendidikan[2].
Defenisi yang lebih luas tantang MBS
dikemukakan oleh Wohlstetter dan Mohrman sebagaimana dikutip juga oleh Hasbullah,
2006: 67), yaitu sebuah pendekatan politis untuk mendesain ulang organisasi
sekolah dengan memberikan kewenangan dan kekuasaan kepada partisipan sekolah
pada tingkat lokal guna memajukan sekolahnya.[3]
Depdiknas
merumuskan pengertian MBS sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih
besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipasif yang
melibatkan secara langsung warga seklah ( Guru, siswa, kepala sekolah,
karyawan, orang tua, dan masyarakat)[4]
untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pemerintah
Menurut tim Bappenas dan Bank Dunia yang dikutib oleh Drs. B Suryobroto[5], MBS merupakan bentuk alternative pengelolaan sekolah dalam program desentralisasi bidang pndidikan, yang ditandai dengan adanya otonomi luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarkat yang tinggi, dan masih dalam kerangka kebijakan pendidikan Nasional
Memang
banyak ahli yang memberikan definisi tapi ecara umum menurut Pemakalah
bahwa Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar
kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan
secara langsung semua warga sekolah
(guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orang tua siswa, dan masyarakat) untuk
meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional
Lebih
lanjut istilah manajemen sekolah acapkali disandingkan dengan istilah
administrasi sekolah. Berkaitan dengan itu, terdapat tiga pandangan berbeda;
pertama, mengartikan administrasi lebih luas dari pada manajemen (manajemen merupakan
inti dari administrasi), kedua, melihat manajemen lebih luas dari pada
administrasi (administrasi merupakan inti dari manajemen); dan ketiga yang
menganggap bahwa manajemen identik dengan administrasi[6].
Dalam hal
ini, istilah manajemen diartikan sama dengan istilah administrasi atau
pengelolaan, yaitu segala usaha bersama untuk mendayagunakan sumber-sumber,
baik personal maupun material, secara efektif dan efisien guna menunjang
tercapainya tujuan pendidikan di sekolah secara optimal. Pengertian manajemen
menurut Hasibuan merupakan ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber
daya manusia dan sumber-sumber lainnya secara efektif dan efisien untuk
mencapai tujuan tertentu. Definisi manajemen tersebut menjelaskan pada kita
bahwa untuk mencapai tujuan tertentu, maka kita tidak bergerak sendiri, tetapi membutuhkan orang lain untuk bekerja
sama dengan baik.
Lebih
lanjut, berdasarkan
fungsi pokoknya, istilah manajemen dan administrasi mempunyai fungsi yang sama,
yaitu: merencanakan (planning), mengorganisasikan (organizing), mengarahkan
(directing), mengkoordinasikan (coordinating), mengawasi (controlling), dan
mengevaluasi (evaluation).
Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah ( MBS )
Setiap
segala sesuatu yang dilakukan pastimemiliki tujuan. Adapun tujuan dari
manajemen berbasis sekolah adalah sebagai berikut
- Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam megelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia, karena menurut pemakalah seberapa hebatpun sumber daya yang tersedia kalau tidak dikelola dengan baik sama saja tidak ada gunanya
- Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama;
- Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya
- Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai[7].
Selanjutnya,
Kewenangan yang bertumpu pada sekolah merupakan inti dari MBS yang dipandang
memiliki tingkat efektivitas tinggi serta memberikan beberapa keuntungan[8].Adapun
keuntungannya adalah sebagai berikut:
- Kebijaksanaan dan kewenangan sekolah membawa pengaruh langsung kepada peserta didik, orang tua, dan guru.
- Bertujuan bagaimana memanfaatkan sumber daya lokal.
- Efektif dalam melakukan pembinaan peserta didik seperti kehadiran, hasil belajar, tingkat pengulangan, tingkat putus sekolah, moral guru, dan iklim sekolah.
- Adanya perhatian bersama untuk mengambil keputusan, memberdayakan guru, manajemen sekolah, rancangan ulang sekolah, dan perubahan perencanaan.
Manfaat Manajemen Berbasisi Sekolah ( MBS )
Segala
sesuatu yang dilakukan juga pasti mempunyai urgensi dan manfaat, entah itu
sedikit maupun banyak, maka Manajemen Berbasis Sekolah ( MBS ) memberikan
beberapa manfaat diantaranya:
- Dengan kondisi setempat, sekolah dapat meningkatkan kesejahteraan guru sehingga dapat lebih berkonsentrasi pada tugasnya;
- Keleluasaan dalam mengelola sumber daya dan dalam menyertakan masyarakat untuk berpartisipasi, mendorong profesionalisme kepala sekolah, dalam peranannya sebagai manajer maupun pemimpin sekolah;
- Guru didorong untuk berinovasi, bahkan menurut pemakalah guru juga lebih bebas dalam mewarnai pengajarannya
Implementasi Manajemen Berbasis ekolah ( MBS )
Dalam
mengimplementasikan MBS terdapat 4 (empat) prinsip yang harus difahami yaitu:
Kekuasaan
Kepala sekolah memiliki kekuasaan yang lebih besar untuk
mengambil keputusan berkaitan dengan kebijakan pengelolaan sekolah dibandingkan
dengan sistem pendidikan sebelumnya. Kekuasaan ini dimaksudkan untuk
memungkinkan sekolah berjalan dengan efektif dan efisien. Kekuasaan yang
dimiliki kepala sekolah akan efektif apabila mendapat dukungan partisipasi dari
berbagai pihak, terutama guru dan orangtua siswa. Seberapa besar kekuasaan
sekolah tergantung seberapa jauh MBS dapat diimplementasikan. Pemberian kekuasaan
secara utuh sebagaimana dalam teori MBS tidak mungkin dilaksanakan dalam
seketika, melainkan ada proses transisi dari manajemen yang dikontrol pusat ke
MBS.
Kekuasaan yang lebih besar yang dimiliki oleh kepala
sekolah dalam pengambilan keputusan perlu dilaksanakan dengan demokratis antara
lain dengan:
- Melibatkan semua fihak, khususnya guru dan orangtua siswa.
- Membentuk tim-tim kecil di level sekolah yang diberi kewenangan untuk mengambil keputusan yang relevan dengan tugasnya
- Menjalin kerjasama dengan organisasi di luar sekolah.
Menurut
hemat pemakalah, kepala sekolah dan seluruh warga sekolah harus menjadi
seseorang yang berusaha secara terus menerus menambah pengetahuan dan
ketrampilan dalam rangka meningkatkan mutu sekolah. Untuk itu, sekolah harus memiliki sistem pengembangan
sumber daya manusia (SDM) lewat berbagai pelatihan atau workshop guna membekali
guru dengan berbagai kemampuan yang berkaitan dengan proses belajar mengajar.
- Pengetahuan yang penting harus dimiliki oleh seluruh staf adalah: pengetahuan untuk meningkatkan kinerja sekolah,
- Memahami dan dapat melaksanakan berbagai aspek yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan quality assurance, quality control, self assessment, school review, bencmarking, SWOT, dll).
Menurut
pemakalah, sekolah yang
melakukan MBS juga perlu memiliki informasi yang jelas berkaitan dengan program sekolah,
Seperti halnya di SDI Al-Azhar 8 Kembangan, disana sudah dilengkapi sistem
informasi berupa Layanan online melalui I-Global[9]. Informasi ini diperlukan agar semua warga sekolah serta masyarakat sekitar
bisa dengan mudah memperoleh gambaran kondisi sekolah. Dengan informasi
tersebut warga sekolah dapat mengambil peran dan partisipasi. Disamping itu
ketersediaan informasi sekolah akan memudahkan pelaksanaan monitoring,
evaluasi, dan akuntabilitas sekolah. Infornasi yang amat penting untuk dimiliki sekolah antara lain yang
berkaitan dengan: kemampuan guru dan Prestasi siswa[10]
Sistem Penghargaan
Di
SDI Al Azhar 8 Kembangansudah mengadakan sistem pemberan reward kepada tenaga
kependidikan yang memang berperan aktif dan ikut andil mengharumkan nama baik sekolah,
seperti pada akhir bulan Desember kemarin, Pak Hamim sebut saja sudah menerima
penghargaan sebaik karyawan kebersihan terbaik[11].
Menurut pemakalah sekolah yang melaksanakan MBS memeang perlu menyusun sistem
penghargaan untuk memberikan penghargaan kepada warga sekolah yang berprestasi.
Sistem penghargaan ini diperlukan untuk mendorong karier
warga sekolah, yaitu guru, karyawan dan siswa. Dengan sistem ini diharapkan
akan muncul motivasi dan ethos kerja dari kalangan sekolah. Sistem
penghargaan yang dikembangkan harus bersifat adil dan merata.
Hambatan Pelaksanaan MBS
Hambatan Pelaksanaan MBS
Beberapa
hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan MBS
adalah sebagai berikut :
Tidak Berminat Untuk Terlibat
Sebagian
orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka
lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut
mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak
menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran.
Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa
untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan
berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya
untuk urusan itu.
Tidak Efisien
Tidak Efisien
Pengambilan
keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi
dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para
anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada
tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.
Pikiran Kelompok
Setelah
beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan
semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan
saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan
anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat
dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit “pikiran
kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak
lagi realistis.
Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak
yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum
berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka
kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat
MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi,
dan sebagainya.
Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak
yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang
selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab
pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan
menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung
jawab pengambilan keputusan.
Kesulitan Koordinasi
Setiap
penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan
adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam
akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama
sekali menjauh dari tujuan sekolah.
Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah
dilibatkan sejak awal, mereka dapat memastikan bahwa setiap hambatan telah
ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur penting adalah pelatihan yang cukup
tentang MBS dan klarifikasi peran dan tanggung jawab serta hasil yang
diharapkan kepada semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua yang
terlibat harus memahami apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang
dapat dibagi, oleh siapa, dan pada level mana dalam organisasi.
Anggota
masyarakat sekolah harus menyadari bahwa adakalanya harapan yang dibebankan
kepada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya di tempat lain
menunjukkan bahwa daerah yang paling berhasil menerapkan MBS telah memfokuskan
harapan mereka pada dua maslahat: meningkatkan keterlibatan dalam pengambilan
keputusan dan menghasilkan keputusan lebih baik[12].
Manajemen Berbasis Masyarakat ( MBM )
Pengertian Manajemen Berbasis Masyarakat ( MBM )
Kalau kita pahami ternyata konsep MBM
adalah : dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat (Sihombing, U.
2001)[13].
Dari konsep di atas dapat dinyatakan bahwa MBM adalah pendidikan yang dikelola
oleh masyarakat dengan memanfaatkan fasilitas yang ada di masyarakat dan
menekankan pentingnya partisipasi masyarakat pada setiap kegiatan belajar serta
bertujuan untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Konsep dan praktek MBM tersebut
adalah untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas, terampil, mandiri dan memiliki
daya saing dengan melakukan program belajar yang sesuai kebutuhan masyarakat.
Dengan demikian tenaga pendidikan
(pihak-pihak terkait) harus melakukan akuntabilitas (pertanggungjawaban) kepada
masyarakat. Menurut Sagala, S. akuntabilitas dapat mengembangkan persatuan
bangsa serta menjawab kebutuhan akan pendidikan bagi masyarakat. Pengembangan
akuntabilitas terhadap masyarakat akan menumbuhkan inovasi dan otonomi dan
menjadikan pendidikan berbasis pada masyarakat (community based education)[14].
Untuk mewujudkan output pendidikan
yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat dibutuhkan pendidikan yang
bermutu. Apabila kita lihat mutu pendidikan di negara kita saat ini masih
menghadapi beberapa problematika.
Beberapa problem mengenai mutu
pendidikan kita seperti yang diungkapkan DR. Arief Rahman dalam Mukhlishah,
2002 adalah :
- Pembiasaaan atau penyimpangan arah pendidikan dari tujuan pokoknya.
- Malproses dan penyempitan simplikatif lingkup proses pendidikan menjadi sebatas pengajaran.
- Pergeseran fokus pengukuran hasil pembelajaran yang lebih diarahkan pada aspek-aspek intelektual atau derajat kecerdasan nalar.
Menurut Surya, M. salah satu
problematika pendidikan di Indonesia adalah keterbatasan anggaran dan sarana
pendidikan, sehingga kinerja pendidikan tidak berjalan dengan optimal[15].
Adapun menurut hemat pemakalah
inti dari problematika pendidikan di Indonesia dewasa ini adalah tidak
tersedianya lapangan kerja yang signifika, sehingga banyak pengangguran, dan
yang lebih memprihatinkan lagi banyak dari pengangguran tersebut adalah para
sarjana lulusan Perguruan tinggi. Persoalan tersebut menjadi lebih komplek jika
kita kaitkan dengan penumpukan lulusan karena tidak terserap oleh masyarakat
atau dunia kerja karena rendahnya kompetensi mereka. Mutu dan hasil pendidikan
tidak memenuhui harapan dan kebutuhan masyarakat atau mempunyai daya saing yang
rendah.
Indikator yang menunjukkkan rendahnya
mutu hasil pendidikan kita adalah kepekaan sosial alumni sistem pendidikan
terhadap persoalan masyarakat yang seharusnya menjadi konsen utama mereka,
seperti :
- Alumni kedokteran tidak menunjukkan kepekaan sosial terhadap maraknya wabah demam berdarah, sehingga lonjakan wabah tersebut di beberapa daerah harus dibarengi dengan ironi kekurangan tenaga medik dan paramedik, sehingga terjadilah kisah tragis Indah di Indramayu.
- Kesulitan untuk mencari guru mengaji di sebagian besar masjid-masjid kota pontianak dan Kab./Kota lainnya di Propinsi kalimantan Barat merupakan hal yang sulit kita pahami, mengingat STAIN Pontianak hingga saat ini telah meluluskan banyak alumni.
- Sangat ironis terjadi bagi masyarakat Kalimantan Barat jika harus kekurangan tenaga dan ahli pertanian sehingga banyak areal pertanian terbengkalai atau salah urus, mengingat Untan dan IPB meluluskan ratusan sarjana pertanian setiap tahunnya.
Kalau kita perhatikan kisah-kisah
ironis tersebut menggambarkan secara jelas bahwa kompetensi moral dan
kompetensi sosial SDM keluaran sistem pendidikan kita sangat tidak compatible
dengan tuntutan dunia kerja di dalam masyarakatnya. Sistem pendidikan tidak
menjadikan masyarakat sebagai dasar prosesualnya dan tidak berakar pada sosial
budaya yang ada.
Pendidikan berjalan di luar alam
sosial budaya masyarakatnya, sehingga segala yang ditanamkan (dilatensikan)
melalui proses pendidikan merupakan hal-hal yang tidak bersentuhan dengan
persoalan kehidupan nyata yang dihadapi masyarakat tersebut.
Implikasinya adalah terputus mata
rantai budaya sosial antara satu generasi dengan generasi berikutnya. Generasi
yang lebih muda menjadi tidak mampu mewarisi dan mengembangkan bangunan budaya
sosial yang dikonstruksi oleh generasi pendahulunya, bahkan tidak mampu
mengapresiasi dan seringkali berperilaku yang cenderung berakibat
mengenyahkannya. Generasi seperti ini cenderung hanya mampu melihat
kekurangan-kekurangan pendahulunya, tanpa menawarkan jalan keluar dan
penyelesaiannya. Kisah yang sangat biasa bagi orang pribumi yang kaya raya dari
hasil usaha dan bisnisnya, anak mereka menghancurkan perusahaan dan
menghabiskan kekayaan untuk berfoya-foya.
Hal seperti ini tidak terjadi pada
tradisi etnis tionghoa, dimana yang kaya akan menjadi lebih kaya karena
putra-putrinya dipersiapkan untuk menjadi pewaris yang mampu mengembangkan
bisnis yang dirintis oleh kedua orang tuanya. Misalnya dengan membiasakan
anaknya magang di setiap outlet orang tua dan memperoleh perlakuan seperti
layaknya pegawai, dengan demikian mereka mempunyai akselerasi belajar yang jauh
lebih tinggi karena segala pelajaran yang diperoleh di sekolah memperoleh
penguatan melalui aktivitas praktis yang dijalaninya.
Sejalan dengan dicanangkannya KBK,
pemerintah juga melakukan pembaharuan manajemen sekolah dengan mengeluarkan
kebijakan agar sekolah menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS adalah
model manajemen yang memberikan keleluasaan / kewenangan kepada sekolah untuk
mengelola sekolahnya sendiri dengan meningkatkan keterlibatan warga sekolah dan
masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah dengan tetap memperhatikan
standar pendidikan nasional
Pendidikan kita selama ini memandang
sekolah sebagai tempat untuk menyerahkan anak didik sepenuhnya. Sekolah
dianggap sebagai tempat segala ilmu pengetahuan dan diajarkan kepada anak
didik. Cara pandang ini sangat keliru mengingat sistem pendidikan juga harus
dikembangkan di keluarga. Sekolah hanyalah sebagai instrumen untuk memperluas
cakupan dan memperdalam intensitas penanaman cita-cita sosial budaya yang tidak
mungkin lagi dikembangkan melalui mekanisme keluarga
Memulai kembali menata pendidikan dengan
mempertahankan fungsi keluarga dan masyarakat sebagai basis pendidikan di
sekolah bukan lagi ide untuk masa depan tetapi menjadi tuntutan yang sangat
mendesak. Upaya ini akan menjadi cara untuk mengembalikan sistem pendidikan
kita kepada hakekat pendidikan yang sesungguhnya. Pendidikan yang hakiki adalah
suatu langkah prosedural yang bertujuan untuk melatenkan kemampuan sosial
budaya berupa program-program kolektif alam pikir, alam rasa, dan tradisi
tindak manusia ke dalam pribadi dan kelompok manusia muda agar mereka siap
menghadapi segala kemungkinan yang timbul di masa datang.
Karena itu diperlukan partisipasi
semua elemen (stakeholder) terutama orang tua dan masyarakat. Untuk
mengoptimalkan peran masyarakat dalam peningkatan mutu pendidikan perlu dikembangkan
model pendidikan berbasis masyarakat, di mana proses pendidikan tidak terlepas
dari masyarakat dan menjadikan masyarakat sebagai basis keseluruhan kegiatan
pendidikan. Semua potensi yang ada di masyarakat apabila dapat diberdayakan
secara sistemik, sinergik dan simbiotik, melalui proses yang konsepsional,
dapat dijadikan sebagai upaya yang strategis dalam meningkatkan mutu pendidikan
nasional.
Tujuan Pendidikan berbasis Masyarakat ( MBM )
Diantara
tujuan pengembangan pendidikan berbasis Masyarakat adalah:
- Membantu pemerintah dalam mobilisasi SDM setempat dan dari luar serta meningkatkan peranan Masyarkat untuk mengambil bagian lebih besar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi Pendidikan disemua jenjang, jenis dan jalur Pendidikan
- Mendorong perubahan sikap dan persepsi Masyarakat terhadap rasa kepemilikan sekolah, tanggung jawab kemitraan, toleransi dan kesediaan menerima sosial budaya.
- Mendukung inisiatif pemerintah dalam meningkatkan dukungan Masyarkat terhadap sekolah, khususnya orang tua dan anggota Masyarkat lainnya melalui kebijakan desentralisasi.
- Mendukung peranan Masyarakat mengembangkan inovasi kelembagaan untuk melengkapi, meningkatkan, dan mensinergikan dengan peran sekolah, dan untuk meningkatkan mutu dan relevansi, membuka kesempatan lebih besar dalam memperoleh Pendidikan[16].
Paradigma
Baru Pendidikan dalam undang-undang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 Dalam upaya
meningkatkan mutu sumber daya manusia, mengejar ketertinggalan di segala aspek
kehidupan dan menyesuaikan dengan perubahan global serta perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, bangsa Indonesia melalui DPR dan Presiden pada
tanggal 11 Juni 2003 telah mensahkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional
yang baru, sebagai pengganti Undang-undang Sisdiknas Nomor 2 Tahun 1989.
Dengan demikian Peran serta Masyarakat dalam pendidikan sangat dibutuhkan untuk menyempurnakan peran yang sudah ada dengan lebih terarah dan terencana dengan baik sehingga kepedulian masyarakat terhadap pendidikan sangat tinggi dengan aktif berperan serta sesuai dengan tata laksana yang benar.
Dengan demikian Peran serta Masyarakat dalam pendidikan sangat dibutuhkan untuk menyempurnakan peran yang sudah ada dengan lebih terarah dan terencana dengan baik sehingga kepedulian masyarakat terhadap pendidikan sangat tinggi dengan aktif berperan serta sesuai dengan tata laksana yang benar.
Pendidikan
tanpa dukungan dan keikutsertaan masyarakat dalam mensukseskannya akan
menyebabkan malproduct dan hanya mengejar status bukan keahlian dan
mengantisipasi kebutuhan masyarakat. Ada peran-peran yang dapat diambil oleh
masyarakat dalam menuangkan ide atau keinginannya dan bagaimana sebenarnya
pendidikan berbasis masyarakat dapat diimpelementasikan serta apa peran
pemerintah dan masyarakat dalam menyukseskannya.
Implementasi Pendidikan Berbasis Masyarakat ( MBM )
Implementasi Pendidikan Berbasis Masyarakat ( MBM )
Lembaga
Pendidikan berbasis Masyarakat pada jalur pendidikan formal dan non formal
dapat memperoleh bantuan teknis, Subsidi dana dan Sumber daya lain yang tata
cara mengenai bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lainnya tersebut
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
- Bantuan teknis, yaitu penyelenggaraan pendidikan formal dan nonformal berbasis masyarakat dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat berupa bantuan tenaga ahli serta pendidikan atau pelatihan pendidik dan tenaga kependidikan.
- Subsidi dana penyelenggaraan pendidikan formal dan nonformal berbasis masyarakat yang bersumber dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah berupa biaya operasi.
- Sumber daya lain dalam penyelenggaraan pendidikan formal dan nonformal berbasis masyarakat dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat berupa pengadaan pendidik dan tenaga kependidikan dan sarana dan prasarana pendidikan.
Kendala
dalam mengimplementasikan Pendidikan Berbasis Masyarakat menurut Sagala S.
adalah:
- Sistem perencanaan, pengangguran dan pertanggungjawaban keuangan yang dianut pemerintah masih dari atas ke bawah
- Kurangnya kepercayaan pemerintah terhadap kemampuan atau kekuatan energi masyarakat.
- Sikap Birokrat yang belum mampu membiasakan diri bertindak sebagai pelayan.
- Karakteristik kebutuhan belajar masyarakat yang sangat beragam, sedangkan sistem perencanaan yang dianut masih turun dari atas dan bersifat standar.
- Sikap masyarakat dan juga pola pikir masyarakat dalam memenuhi kebutuhan masih tertuju pada hal-hal yang bersifat kebutuhan badani / kebendaan.
- Budaya menunggu pada sebagian besar masyarakat kita.
- Tokoh panutan, yaitu tokoh-tokoh masyarakat yang seyogyanya berperan sebagai panutan sering berperilaku seperti birokrat.
- Lembaga sosial masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang pendidikan masih kurang.
- Keterbatasan anggaran, sarana prasarana belajar, dan tenaga kependidikan.
- Egoisme sektoral, yaitu masih ada keraguan di antara prosedur yang berbeda tentang kedudukan masyarakat dalam institusi pendidikan berkaitan dengan pendidikan berbasis masyarakat yang masih menonjolkan karakteristiknya masing-masing[17].
Langkah
Strategi Reposisi Pendidikan Berbasis Masyarkat adalah bagaimana aktualisasi
pemerintah dalam menggalakan pendidikan berbasis Masyarakat dan Reaktifasi
Masyarakat dalam mensukseskan pendidikan tersebut.
Beberapa peran yang diharapkan dapat dimainkan oleh aparat pemerintah dalam menata dan memantapkan pelaksanaan pendidikan berbasis masyarakat menurut Sihombing, U. Adalah sebagai berikut:
Beberapa peran yang diharapkan dapat dimainkan oleh aparat pemerintah dalam menata dan memantapkan pelaksanaan pendidikan berbasis masyarakat menurut Sihombing, U. Adalah sebagai berikut:
Pelayan Masyarakat
Dalam
mengembangkan pendidikan berbasis masyarakat seharusnya pemerintah memberikan
pelayanan terbaik bagi masyarakat. Melayani masyarakat, merupakan pilar utama
dalam memberdayakan dan membantu masyarakat dalam menemukan kekuatan dirinya
untuk bisa berkembang secara optimal. Pemerintah dengan semua aparat dan
jajarannya perlu menampilkan diri sebagai pelayan yang cepat tanggap, sepat
memberikan perhatian, tidak berbelit-belit, dan bukan minta dilayani.
Masyarakat harus diposisikan sebagai fokus pelayanan utama.
Fasilitator
Fasilitator
Pemerintah
seharusnya merupakan fasilitator yang ramah, menyatu dengan masyarakat,
bersahabat, menghargai masyarakat, mampu menangkap aspirasi masyarakat, mampu
membuka jalan, mampu membantu menemukan peluang, mampu memberikan dukungan,
mampu meringankan beban pekerjaan masyarakat, mampu menghidupkan komunikasi dan
partisipasi masyarakat tanpa masyarakat merasa terbebani.
Pendamping Masyarakat
Pemerintah
menjadi pendamping masyarkat yang setiap saat harus melayani dan memfasilitasi
berbagai kebutuhan dan aktivitas masyarakat. Kemampuan petugas sebagai teman,
sahabat, mitra setia dalam membahas, mendiskusikan, membantu merencanakan dan
menyelenggarakan kegiatan yang dibutuhkan masyarakat perlu terus dikembangkan.
Sebagai pendamping, mereka dilatih untuk dapat memberikan konstribusi pada
masyarakat dalam memerankan diri sebagai pendamping. Acuan kerja yang
dipegangnya adalah tutwuri handayani (mengikuti dari belakang, tetapi
memberikan peringatan bila akan terjadi penyimpangan). Pada saat yang tepat
mereka mampu menampilkan ing madya mangun karsa ( bila berada di antara mereka,
petugas memberikan semangat), dan sebagai pendamping, petugas harus dapat
dijadikan panutan masyarakat
Mitra
Apabila kita berangkat dari konsep
pemberdayaan yang menempatkan masyarakat sebagai subjek, maka masyarakat harus
dianggap sebagai mitra. Hubungan dalam pengambilan keputusan bersifat
horizontal, sejajar, setara dalam satu jalur yang sama. Tidak ada sifat ingin
menang sendiri, ingin tampil sendiri, ingin tenar/populer sendiri, atau ingin
diakui sendiri. Sebagai mitra, pemerintah harus dapat saling memberi, saling mengisi,
saling mendukung dan tidak berseberangan dengan masyarakat, tidak terlalu
banyak campur tangan yang akan menyusahkan, membuat masyarakat pasif dan
akhirnya mematikan kreativitas masyarakat
Kesimpulan
Pendidikan
berbasis Masyarakat merupakan trilogy peran serta masyarakat, yaitu dari
Masyarakat, oleh Masyarakat dan untuk Masyarakat. Pendidikan dalam kebutuhan
dasar masyarakat dalam meningkatkan kualitas sumber daya insani yang dapat
memberikan kontribusi yang sangat besar dalam kehidupan. Pendidikan dari
masyarakat diaktualisasikan dalam bentuk perencanaan pendidikan yang matang dan
disalurkan dalam wadah komite sekolah dengan dukungan unsur sekolah sehingga
adanya kesesuaian antara harapan dan kenyataan.
[2]
Nurkolis, Manajemen Berbasis sekolah Teori, Model
dan Aplikasi. (Jakarta: Grasindo, 2003), Diakses dari www.alazhar Kembangan pada TANGGAL 25 Desember 2012
[5]
(tim Bapenas& Bank Dunia, 1999: 10), Diakses dari www.alazhar
Kembangan pada Tanggal 25 Desember 2012
[6]
Mansoer, Hamdan.
1989. Pengantar Manajemen. Jakarta: P2LPTK. Diakses dari www.alazhar
Kembangan pada Tanggal 25 Desember 2012
[7] E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah Konsep, Strategi dan Implementasi. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002)hal. 87
[7] E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah Konsep, Strategi dan Implementasi. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002)hal. 87
[8]
www.google.com , Keuntungan Manajemen
Berbasis Sekolah, Diakses dari www.alazhar Kembangan pada tanggal 20
Desember 2012
[10]
Masruroh, Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah, Diakses dari www.alazhar Kembangan Pada tanggal 20
Desember 2012
[12]
S, Sagala, Manajemen Berbasis
sekolah dan Masyarakat. Strategi Memenangkan Persaingan Mutu. (Jakarta: PT
Rakasta Samasta, 2024) Diakses dari www.alazhar Kembangan pada tanggal 20 Desember 2012
[13]
Sihombing, Pengertian Manajemen Berbasis Masyarakat, Diakses dari www.alzhar Kembangan Pada tanggal 20
Desember 2012
[15]
www.google. Aneka Problematika
Pendidikan di Indonesia, Diakses dari www.alazhar Kembangan Pada Tanggal 20
Desember 2012
[16]
www.google .Tujuan Pendidikan Berbasis
Masyarakat, Diakses dari www.alazhar Kembangan Pada Tanggal 20
Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar