Selasa, 24 September 2019

Kemana Kotak Suara Ini Berlabuh


Description: \\Rg4-pc\e\^BERKAS FILE RUDI^ (RG-4)\Foto pak rus dan pak rudi piala guru berprestasi\DSC_5710.JPGKemana Kotak Suara Ini Berlabuh
Lomba Indonesia Bersuara 2019
Oleh               : Rudi Hartono, M. Pd. I.
No HP            :08569085373



Pemilu Bukan Misteri

P
emilihan Umum (Pemilu) adalah suatu proses untuk memilih orang-            orang yang akan menduduki kursi pemerintahan. Pemilihan umum ini diadakan untuk mewujudkan negara yang demokrasi, di mana para pemimpinnya dipilih berdasarkan suara mayoritas terbanyak. Walaupun setiap warga negara Indonesia (laki-laki dan wanita) mempunyai hak untuk memilih, namun UU Pemilu mengadakan pembatasan umur untuk dapat ikut serta di dalam pemilihan umum. Batas waktu untuk menetapkan batas umum tersebut adalah sudah genap berumur 17 tahun. Adapun ketetapan batas umur 17 tahun yaitu berdasarkan perkembangan kehidupan politik di Indonesia, bahwa warga negara Republik Indonesia yang telah mencapai umur 17 tahun, ternyata sudah mempunyai pertanggung jawaban politik terhadap negara dan masyarakat, sehingga sewajarnya diberikan hak untuk memilih wakil-wakilnya dalam pemilihan anggota badan-badan perwakilan rakyat.
Pemilihan umum dilakukan secara rahasia. Rahasia yang dimaksud ialah para pemilih dijamin oleh peraturan, bahwa tidak akan diketahui oleh pihak siapa pun dan dengan jalan apa pun, siapa yang dipilihnya di dalam kotak suara. Pemilih memberikan suaranya pada suara-suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapa suaranya diberikan. Pemilihan umum diadakan secara bebas. Maksudnya bahwa tiap-tiap warga negara yang berhak memilih dalam menggunakan haknya dijamin keamanannya untuk melakukan pemilihan menurut hati nuraninya tanpa adanya pengaruh, tekanan maupun paksaan dari siapa pun atau apa pun juga.
Sosok Petahana
Menurut Pasal 7 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan." Dengan demikian, Joko Widodo yang menjadi pemegang posisi Presiden Republik Indonesia untuk periode 2014-2019 berhak dan dapat mengajukan pencalonan kembali untuk pemilihan umum 2019 dengan masa jabatan 2019-2024. Pemerintah juga memunculkan ambang batas untuk pemilihan 2019, sehingga menurut Pakar Komunikasi Politik dari Universitas Indonesia Effendi Ghazali, pemerintah dinilai membawa kepentingan partai politik
Menanti Caleg yang Bergairah Kerja
Partai politik (parpol) peserta Pemilu tampaknya sudah yakin dengan calon anggota lembaga legislatif (caleg) baik Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Kota/Kabupaten pilihannya yang akan ikut bertarung dalam Pemilu 2019. Seperti tercantum dalam lampiran Peraturan KPU nomor 7 tahun 2017, pengajuan daftar caleg oleh parpol dijadwalkan mulai 4 Juli 2018 sampai 17 Juli 2018. Setelah melewati sejumlah proses, KPU akan menetapkan daftar calon tetapnya pada 20 September 2018.
Warga negara yang berhak menjadi pemilih nanti tentu berharap parpol mampu menghadirkan caleg yang lebih berkualitas ketimbang pemilihan-pemilihan sebelumnya. Parpol perlu menyiapkan diri atas tuntutan itu. Sejumlah kritik muncul atas caleg-caleg yang ikut dalam Pemilu sebelumya, yang dipandang tidak terlalu menguasai tugasnya setelah terpilih sebagai legislator. Penulis sendiri pun menyoroti sejumlah caleg yang saat ini lebih menonjol popularitasnya sebagai pesohor ketimbang catatan aktivitas politiknya yang terkait dengan posisi legislator yang diperebutkannya. Hal ini memang mengarah ke sejumlah pesohor di bidang hiburan yang terpilih sebagai legislator pada Pemilu yang lalu. Sampai-sampai, sempat muncul wacana untuk memperketat persyaratan bagi pesohor hiburan yang berminat menjadi caleg dalam Pemilu 2019 ini.
Dikaitkan dengan hak konstitusional warga negara, wacana tersebut jelas lebih banyak mendapatkan penentangan. Pengetatan bentuk halus dari pembatasan caleg berdasarkan latar belakang pekerjaannya tentu bisa dianggap sebagai bentuk diskriminasi. Pemilih tidak bisa memilih sembarang orang dalam Pemilu. Caleg yang boleh dipilih dalam Pemilu berasal dari pengajuan parpol. Parpol punya peran besar dalam menentukan tersedianya caleg yang mumpuni dalam Pemilu. Rekrutmen caleg yang dilakukan parpol adalah langkah awal yang menentukan kualitas caleg dalam Pemilu.
Masuknya sejumlah pesohor di bidang apapun sebagai caleg pada Pemilu sebelumnya tentu tidak terlepas dari penerapan sistem terbuka saat itu. Dalam Pemilu dengan sistem terbuka, caleg yang lolos menjadi legislator adalah mereka yang mendapatkan suara banyak dari pemilih. Suka tidak suka, terlepas dari caleg yang memiliki popularitas tinggi di tengah para pemilih lebih berpeluang lolos menjadi legislator. Para pesohor tentu lebih mempunyai popularitas tinggi ketimbang yang lainnya. Selain pesohor, caleg yang lebih berpeluang terpilih adalah mereka yang memiliki modal yang besar. Dengan modal besar itu, para caleg lebih leluasa untuk menyusun strategi kampanyenya termasuk menggelontorkan uang yang banyak kepada calon pemilihnya.
Itu sebabnya pada Pemilu yang lalu, bahkan ketimbang kepada kadernya, parpol sering dituding lebih dekat dengan dua jenis caleg itu: caleg pesohor dan caleg bermodal besar. Dalam politik jumlah kursi, perolehan suara tentu terasa lebih penting ketimbang kualitas caleg. Dalam sistem terbuka, pertarungan bukan saja terjadi antara caleg dari suatu partai dengan caleg dari partai lain. Bahkan caleg yang berasal dari partai yang sama pun saling bersaing. Biaya politik menjadi sangat mahal. Dalam pembahasan RUU Pemilu beberapa bulan lalu, perdebatan untuk memilih antara sistem terbuka dan sistem tertutup mengemuka lagi. Sejumlah kelemahan dalam sistem terbuka tadi menjadi dalih untuk kembali memakai sistem tertutup dalam Pemilu 2019.
Dengan sistem tertutup, caleg yang terpilih menjadi legislator lebih ditentukan oleh parpol ketimbang oleh para pemilih itu sendiri. Kembali memilih sistem tertutup itu menurunkan kembali kualitas demokrasi kita, dan tidak menjamin hadirnya caleg yang berkualitas dan memahami ideologi partai. UU Pemilu yang baru memastikan bahwa Pemilu 2019 ini menggunakan sistem terbuka. Sekali lagi, pola rekrutmen parpol akan sangat menentukan kualitas caleg yang disodorkan kepada pemilih dalam Pemilu nanti.
Membatasi para pesohor dalam mencalonkan diri, jelas berseberangan dengan konstitusi. Kembali condong mendekati pesohor dan mereka yang memiliki modal besar tanpa memedulikan kapabilitasnya sebagai calon legislator, juga merupakan bentuk rekrutmen yang bisa kita ragukan mampu memperbaiki kualitas demokrasi kita. Idealnya, parpol melakukan rekrutmen caleg jauh-jauh hari sebelum penyelenggaraan Pemilu. Dengan begitu proses rekrutmen bisa dilakukan tanpa tergesa-gesa untuk memastikan kesesuaian para calon dengan platform, dan visi parpol -dalam hal politik, kebangsaan dan kenegaraan.
Jika penyelenggaraan Pemilu sudah sebegitu dekat, seperti disarankan oleh banyak pengamat politik, rekrutmen caleg secara terbuka yang melibatkan sejumlah ahli adalah opsi yang patut dilirik oleh parpol. Dengan sifatnya yang terbuka, rekrutmen semacam itu akan menjadi sebuah pendidikan politik yang baik bagi para pemilih. Keterlibatan para ahli dalam proses rekrutmen itu akan memperbaiki kualitas penyaringan berdasarkan kapabilitas si caleg.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Merawat Potret " Bodo Kupat" dalam tradisi Jepara

Merawat Potret " Bodo Kupat" dalam tradisi Jepara Hari Kamis besok tepat tanggal 8 Syawwal 1442 H. Dalam tradisi masyarakat muslim...