Kemana Kotak
Suara Ini Berlabuh
Lomba Indonesia Bersuara 2019
Oleh :
Rudi Hartono, M. Pd. I.
No HP :08569085373
Pemilu Bukan Misteri
P
|
emilihan Umum (Pemilu) adalah suatu proses untuk
memilih orang- orang yang akan
menduduki kursi pemerintahan. Pemilihan umum ini diadakan untuk mewujudkan
negara yang demokrasi, di mana para pemimpinnya dipilih berdasarkan suara
mayoritas terbanyak. Walaupun setiap warga negara Indonesia (laki-laki
dan wanita) mempunyai hak untuk memilih, namun UU Pemilu mengadakan pembatasan
umur untuk dapat ikut serta di dalam pemilihan umum. Batas waktu untuk
menetapkan batas umum tersebut adalah sudah genap berumur 17 tahun. Adapun
ketetapan batas umur 17 tahun yaitu berdasarkan perkembangan kehidupan politik
di Indonesia, bahwa warga negara Republik Indonesia yang telah mencapai umur 17
tahun, ternyata sudah mempunyai pertanggung jawaban politik terhadap negara dan
masyarakat, sehingga sewajarnya diberikan hak untuk memilih wakil-wakilnya
dalam pemilihan anggota badan-badan perwakilan rakyat.
Pemilihan umum dilakukan secara rahasia. Rahasia yang dimaksud ialah para
pemilih dijamin oleh peraturan, bahwa tidak akan diketahui oleh pihak siapa pun
dan dengan jalan apa pun, siapa yang dipilihnya di dalam kotak suara. Pemilih
memberikan suaranya pada suara-suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang
lain kepada siapa suaranya diberikan. Pemilihan umum diadakan secara
bebas. Maksudnya bahwa tiap-tiap warga negara yang berhak memilih dalam
menggunakan haknya dijamin keamanannya untuk melakukan pemilihan menurut hati
nuraninya tanpa adanya pengaruh, tekanan maupun paksaan dari siapa pun atau apa
pun juga.
Sosok Petahana
Menurut Pasal 7 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, "Presiden dan
Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih
kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan."
Dengan demikian, Joko Widodo yang menjadi
pemegang posisi Presiden Republik Indonesia untuk periode 2014-2019 berhak dan
dapat mengajukan pencalonan kembali untuk pemilihan umum 2019 dengan masa
jabatan 2019-2024. Pemerintah juga memunculkan ambang batas untuk
pemilihan 2019, sehingga menurut Pakar Komunikasi Politik dari Universitas Indonesia Effendi Ghazali, pemerintah
dinilai membawa kepentingan partai politik
Menanti Caleg yang Bergairah Kerja
Partai
politik (parpol) peserta Pemilu tampaknya sudah yakin dengan calon anggota
lembaga legislatif (caleg) baik Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Provinsi, maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi
Kota/Kabupaten pilihannya yang akan ikut bertarung dalam Pemilu 2019. Seperti tercantum
dalam lampiran Peraturan KPU nomor 7 tahun 2017, pengajuan daftar caleg oleh
parpol dijadwalkan mulai 4 Juli 2018 sampai 17 Juli 2018. Setelah melewati
sejumlah proses, KPU akan menetapkan daftar calon tetapnya pada 20 September
2018.
Warga
negara yang berhak menjadi pemilih nanti tentu berharap parpol mampu
menghadirkan caleg yang lebih berkualitas ketimbang pemilihan-pemilihan
sebelumnya. Parpol perlu menyiapkan diri atas tuntutan itu. Sejumlah
kritik muncul atas caleg-caleg yang ikut dalam Pemilu sebelumya, yang dipandang
tidak terlalu menguasai tugasnya setelah terpilih sebagai legislator. Penulis
sendiri pun menyoroti sejumlah caleg yang saat ini lebih menonjol
popularitasnya sebagai pesohor ketimbang catatan aktivitas politiknya yang
terkait dengan posisi legislator yang diperebutkannya. Hal
ini memang mengarah ke sejumlah pesohor di bidang hiburan yang terpilih sebagai
legislator pada Pemilu yang lalu. Sampai-sampai, sempat
muncul wacana untuk memperketat persyaratan bagi pesohor hiburan yang berminat
menjadi caleg dalam Pemilu 2019 ini.
Dikaitkan
dengan hak konstitusional warga negara, wacana tersebut jelas lebih banyak
mendapatkan penentangan. Pengetatan bentuk halus dari pembatasan caleg berdasarkan
latar belakang pekerjaannya tentu bisa dianggap sebagai bentuk diskriminasi. Pemilih
tidak bisa memilih sembarang orang dalam Pemilu. Caleg yang boleh dipilih dalam
Pemilu berasal dari pengajuan parpol. Parpol punya peran besar dalam menentukan
tersedianya caleg yang mumpuni dalam Pemilu. Rekrutmen caleg yang dilakukan
parpol adalah langkah awal yang menentukan kualitas caleg dalam Pemilu.
Masuknya
sejumlah pesohor di bidang apapun sebagai caleg pada Pemilu sebelumnya tentu
tidak terlepas dari penerapan sistem terbuka saat itu. Dalam Pemilu dengan
sistem terbuka, caleg yang lolos menjadi legislator adalah mereka yang
mendapatkan suara banyak dari pemilih. Suka tidak suka, terlepas dari caleg
yang memiliki popularitas tinggi di tengah para pemilih lebih berpeluang lolos
menjadi legislator. Para pesohor tentu lebih mempunyai popularitas tinggi
ketimbang yang lainnya. Selain pesohor, caleg yang lebih berpeluang terpilih
adalah mereka yang memiliki modal yang besar. Dengan modal besar itu, para
caleg lebih leluasa untuk menyusun strategi kampanyenya termasuk
menggelontorkan uang yang banyak kepada calon pemilihnya.
Itu
sebabnya pada Pemilu yang lalu, bahkan ketimbang kepada kadernya, parpol sering
dituding lebih dekat dengan dua jenis caleg itu: caleg pesohor dan caleg
bermodal besar. Dalam politik jumlah kursi, perolehan suara tentu terasa lebih
penting ketimbang kualitas caleg. Dalam
sistem terbuka, pertarungan bukan saja terjadi antara caleg dari suatu partai
dengan caleg dari partai lain. Bahkan caleg yang berasal dari partai yang sama
pun saling bersaing. Biaya politik menjadi sangat mahal. Dalam
pembahasan RUU Pemilu beberapa bulan lalu, perdebatan untuk memilih antara
sistem terbuka dan sistem tertutup mengemuka lagi. Sejumlah kelemahan dalam
sistem terbuka tadi menjadi dalih untuk kembali memakai sistem tertutup dalam
Pemilu 2019.
Dengan
sistem tertutup, caleg yang terpilih menjadi legislator lebih ditentukan oleh
parpol ketimbang oleh para pemilih itu sendiri. Kembali memilih sistem tertutup
itu menurunkan kembali kualitas demokrasi kita, dan tidak menjamin hadirnya
caleg yang berkualitas dan memahami ideologi partai. UU
Pemilu yang baru memastikan bahwa Pemilu 2019 ini menggunakan sistem terbuka.
Sekali lagi, pola rekrutmen parpol akan sangat menentukan kualitas caleg yang
disodorkan kepada pemilih dalam Pemilu nanti.
Membatasi
para pesohor dalam mencalonkan diri, jelas berseberangan dengan konstitusi.
Kembali condong mendekati pesohor dan mereka yang memiliki modal besar tanpa
memedulikan kapabilitasnya sebagai calon legislator, juga merupakan bentuk
rekrutmen yang bisa kita ragukan mampu memperbaiki kualitas demokrasi kita. Idealnya,
parpol melakukan rekrutmen caleg jauh-jauh hari sebelum penyelenggaraan Pemilu.
Dengan begitu proses rekrutmen bisa dilakukan tanpa tergesa-gesa untuk
memastikan kesesuaian para calon dengan platform, dan visi parpol -dalam hal
politik, kebangsaan dan kenegaraan.
Jika
penyelenggaraan Pemilu sudah sebegitu dekat, seperti disarankan oleh banyak
pengamat politik, rekrutmen caleg secara terbuka yang melibatkan sejumlah ahli
adalah opsi yang patut dilirik oleh parpol. Dengan sifatnya yang terbuka,
rekrutmen semacam itu akan menjadi sebuah pendidikan politik yang baik bagi
para pemilih. Keterlibatan para ahli dalam proses rekrutmen itu akan
memperbaiki kualitas penyaringan berdasarkan kapabilitas si caleg.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar